Siang itu Rudi berjalan dengan gontai. Baru saja ia bertemu dengan Gadis, perempuan kesayangannya. Masih lekat dipikirannya detik-detik terakhir ia memeluk perempuan yang sangat ia cintai itu.
"Aku kearah sini, kamu kearah sana. Takdir pernah mempermainkan kita, takdir juga yang pernah mempertemukan kita. Kali ini aku dan kamu berjudi lagi dengan takdir. Biar takdir yang melempar dadu nya. Kita gak pernah tau apa yang akan takdir bawa. Kalau takdir ngasih kita kesempatan lain, kita pasti ketemu lagi. Dibelahan bumi manapun." Kalimat tersebut diucapkan susah payah oleh Rudi dengan perasaan yang campur aduk.
"Kita gak perlu ngucapin kata perpisahan kan? Aku yakin suatu saat kita pasti ketemu lagi." Kata Gadis dengan air mata di pipi. Rudi hanya menjawab dengan senyum. Lalu pergi.
Langkah kaki Rudi terasa sangat berat, ia berjalan lambat sekali. Orang-orang disekitarnya memperhatikan Rudi dengan tatapan aneh, ia tampak seperti mayat berjalan. Pucat dan kehilangan semangat. Bahkan ia hampir terserempet mobil di jalan raya karena menyebrang tanpa melihat kanan dan kiri. Ia sedang tidak ingin mendengarkan apapun, bahkan suara hatinya sendiri. Suara musik yang ia dengarkan lewat earphone didengar cukup keras oleh orang-orang yang lalu lalang disekitar Rudi. Ia mati rasa.
"Aku akhirnya paham, alasan itu akan muncul apabila dibutuhkan, ternyata yang namanya mencintai adalah menerima rasa sakit."
"Aku gak pernah nyerah, tapi merelakan mungkin akan lebih baik."
Dan setidaknya kali ini Rudi pergi dengan sebuah pesan, "Aku benar-benar mencintaimu, Dis."
Comments