Skip to main content

Meet in time





Siang itu Rudi terlihat duduk sendiri di salah satu sudut cafe. Segelas double espresso dingin tampak sudah mencapai tengah gelasnya. Kaki Rudi terus menghentak lantai menunjukkan kegelisahan. Sudah hampir setengah jam ia menunggu seseorang. Ia terus memperhatikan jam tangannya. Sesekali ia melirik ke arah pintu masuk. Tapi belum ada tanda-tanda kedatangan dari orang yang ia tunggu.

Setelah lama menunggu, orang yang dimaksud akhirnya datang. Rudi tersenyum lebar sekali, ia berdiri dan memeluk orang didepannya. "Bri! Gila, gue kangen banget!" tanpa ragu-ragu orang yang dipanggil Bri pun membalas pelukan Rudi cukup lama. Perempuan itu bernama Sabrina, ia adalah sahabat Rudi yang sedang kuliah di London. Bertemu Rudi adalah salah satu agenda rutin setiap kali ia pulang ke Indonesia. "Apa kabar lo?" tanya Bri sambil menempatkan diri duduk disebelah Rudi. "Hahaha. Lo kan tau, tiap kali gue ketemu sama lo pasti ada hal yang mau gue ceritain." Rudi merasa malu sendiri. Bri menaikan kedua alisnya tanda mengerti. "Jadi, gimana gimana?" tanya Bri yang tidak sabar untuk mendengar cerita Rudi. "Lo pesen minum dulu gih" suruh Rudi. Bri memberi tanda kepada pelayan cafe dan memesan minuman.

"Mending lo yang cerita duluan, kok lo bisa sama tuh bule? Siapa namanya? Ramsey?" tanya Rudi membuka percakapan lagi. "Hahaha iya. Jadi gini, gue kenal si Ramsey..." Sabrina bercerita panjang lebar, Rudi pun mendengarkan dengan antusias. "Gue sih gak ngarep hubungan gue sama Ramsey putus, tapi gue juga belum kepikiran buat hubungan yang serius banget. Jadi untuk sekarang ini gue jalanin apa adanya aja. Gue gak mau muluk-muluk, gue bawa santai aja." Rudi mengangguk-angguk pelan, dalam hatinya selalu ada rasa kagum untuk sahabatnya yang satu ini. Perempuan ini selalu tampak kuat, berprinsip, dan selalu tau apa yang akan dilakukannya. Walaupun sikap acuhnya kadang keterlaluan, tapi hebatnya ia selalu ada disaat orang-orang terdekatnya butuh punggung untuk bersandar. Termasuk Rudi. Bri adalah salah satu orang terpenting dalam hidupnya.

Bri sudah puas bercerita. "And, so... how are you doin'?" aksen Amerika Bri muncul, padahal dia sudah cukup lama tinggal di London. "I'm good. I'm good" sedikit anggukan kurang meyakinkan dari Rudi. "No way. The way you talk, it's obviously tells me that you're not okay." Bri tahu jelas sahabatnya sedang menyimpan sesuatu. "I'm not okay" Rudi terpancing. "It's really not okay, Bri. I'm in really weird situation!" suara Rudi makin tegang. "Whooa.. hold on dude! Take a deep breath!" Bri berusaha menenangkan Rudi yang tampak kebingungan.

Rudi menarik napas panjang. Lalu mulai bercerita. "I really deep in love with this girl. And I don't know why she just dumped me like a trash!" Rudi meluap-luap lagi. Metode menarik napas jelas tidak berhasil untuknya. Bri terdiam dan membiarkan Rudi melanjutkan cerita. "Okay, actually we're not in relationship mode. We're not labeling each other. And it's just fine for me. Labeling each other it's just too much for her. At the first, we commit to not have a commitment. We're just go with the flow. And I'm fine, totally fine." Rudi bercerita dengan urat yang mencuat disekitar jidatnya. Perasaannya campur aduk. "You don't even look fine, Di." bantah Bri.

"I'm fine at the first. But you know, she already has a boyfriend Bri." kali ini Rudi mengharapkan tanggapan yang berbeda dari Bri. "Ohh, Ramsey already got engaged with his girlfriend, FYI." kata Bri dengan tenang, ia malah balik mengangetkan Rudi. "That's insane! You're gonna ruin them Bri." Rudi menghakimi Bri begitu saja. Bri merasa tidak terima. "Look at yourself, dude! What are you doing with her? What's her name?" Bri memicingkan matanya. "Gadis." Jawab Rudi singkat. Ia dipukul telak oleh Bri. Mereka sedang berada di posisi yang sama. Rudi hanya belum bisa meyakinkan dirinya kalau dia dan Bri sama-sama brengsek.

"Okay, go ahead." Bri menyuruh Rudi untuk meneruskan ceritanya. "Mungkin lo tau rasanya jadi selingkuhan. Hmmm, sorry that's too rude. Maksud gue, kita sama-sama diantara hubungan orang lain. Lo pasti tau rasanya, waktu dia lagi telfonan sama pacarnya dan nungguin mereka selesai sayang-sayangan. Lo pasti tau rasanya, waktu dia lagi sibuk sms-an, nanyain udah makan apa belom, nanya lagi ngapain. Dan bukan cuma nama lo yang ada di kotak masuknya!" Rudi meluap-luap lagi. "Because that's your choice, dear. Our choice to be the third party. You inserting yourself between them, and that's the consequence." kata-kata Bri benar, terlalu benar sehingga Rudi merasa ingin menampar dirinya sendiri.

"It's really hurt, Bri." Rudi meyakinkan Bri. Rudi merasa dia bukan Bri. Dia tidak secuek Bri. Dia memasukkan semua ke otaknya dan mencernanya setiap waktu. Rudi adalah tipe pemikir keras. "Gue udah berusaha cuek, dan gak peduli sama keadaan. Gue berusaha keras untuk membohongi otak gue kalo gue lagi gak berada di posisi ini. Maksud gue, I really have a good time with her. I'm happy with her. Dan gue gak mau ngerusak semuanya. Tapi ada suatu saat dimana gue gak bisa terima keadaan kaya gini. Harusnya cuma ada gue dan dia. Cuma ada lo dan Ramsey." Rudi kehabisan nafas, ia selalu merasa sesak setiap kali mengingat hal ini.

"Gue pikir, dia dan gue sama-sama just having fun. But lately, I really sinking too deep on her." Rudi menarik nafas panjang lagi. Bri mendengarkan sambil sesekali meneguk cangkir kopinya. "Sama dia, gue ngerasa nyaman banget. Kita bisa ketawa-ketawa kaya orang gila. Ngatain 'bego' satu sama lain tanpa rasa canggung. Semua hal yang gue lewatin sama dia hampir semuanya bikin gue seneng Bri. Gimana bisa, lo ngelupain orang yang udah ngasih lo banyak kenangan indah?" Rudi merasa emosional lagi.

"Who are these girl?" tanya Bri penasaran dengan sosok Gadis yang diceritakan begitu antusiasnya oleh Rudi. "Well, you know I love the girl with long hair. Wavy hair actually. Hahaha and she smells so good." Rudi menutup mata sambil berusaha meresapi wangi yang ia ingat di memori otaknya. "Dia jago masak, hmmm gue suka banget ngeliatin punggung dia kalo lagi di dapur." Rudi tersenyum tipis. ia terjebak nostalgia. Bri memicingkan matanya lagi. Dia masih penasaran dengan Gadis ini.

"Gadis adalah sosok yang lembut. Tapi juga cerewet. Dia juga ekspresif, makanya gue paling seneng kalo dengerin dia cerita panjang lebar. Hal biasa yang dia ceritain bisa kedengeran seru banget ditelinga gue.Walaupun kadang gue suka ketiduran kalo dia udah kelamaan cerita. Dia paling bisa bikin gue ketawa dengan caranya dia. Dia itu lucu, dia suka tiba-tiba bete sama hal-hal yang gue lakuin. Dia paling suka kalo gue peluk. Dia suka banget masak buat gue, walau kadang dia suka maksa gue makan apapun yang dia suapin ke gue. Dia juga suka spontan terhadap sesuatu, jadi kadang gue bisa langsung tau apa yang ada dipikiran dia. Dia sering banget sms gue cuma buat bilang 'kangen'. Gue gak pernah ngerasa risih, malah gue suka banget." Rudi tersenyum kecil mengingat kembali masa-masa indah itu.  Bri tetap setia mendengarkan. Ia sedang mencoba merangkai dan menggambar sosok Gadis dipikirannya.

"Tapi kadang dia gampang dibohongin, karena dia gampang percaya sama orang. Dan gue selalu jadi tempat dia bertanya dia-lagi-dibohongin-atau-enggak setiap kali temen-temennya berusaha ngerjain dia. Dia juga penakut, banyak banget yang dia takutin, takut gelap, takut cicak, takut kecoa, dan takut jadi nyata bersama gue. Dan buat gue, dia bikin gue ngerasain jatuh cinta berkali-kali." Setidaknya Rudi mengingat Gadis dengan cara yang baik. Tidak terlintas sedikitpun diotak Rudi untuk berpikir buruk tentang perempuan yang sangat ia sayangi itu.

"Intinya, gue nyaman banget sama dia. Dia lengkap banget buat gue. Kelucuannya, keluguannya, manjanya, perhatiannya, tingkah kocaknya, gaya bicaranya yang selalu bikin gue kangen, dan..." Rudi tidak bisa melanjutkan kata-katanya. "Apa?" tanya Bri sambil mengangkat kedua bahunya. Rudi terlihat berpikir. "Gak tau Bri, mungkin gue udah nemuin yang gue cari selama ini. Beberapa tahun belakangan ini mungkin gue terlalu bego, sampe gue gak tau ada manusia selengkap ini dideket gue. Gue ngerasa nyesel banget udah nyia-nyiain waktu selama itu." Rudi memegang dahinya. Kepalanya terasa berat sesaat.

"Lo yang paling tau cerita-cerita gue sebelumnya. Gue juga pernah terobsesi sama mantan gue, sampe akhirnya lo juga yang nyadarin gue. Kali ini beda Bri, ini bukan obsesi. I'm tired of being a jerk. Gue gak bisa main-main terus. Gue tulus mencintai dia. Tapi effort yang gue kasih malah bikin dia ngejauh. Dia takut kita lewat dari batas just-having-fun." Rudi hampir kehilangan akalnya. Bri hanya diam.

"Lo inget waktu gue suruh lo nonton 500 days of Summer?" tanya Rudi. "Hmmm iya inget" jawab Bri cepat, padahal ia sedang berusaha mengingat-ingat. "Cerita gue persis kaya gitu." Rudi pamer. "Di cerita itu, mereka juga dalam hubungan yang 'go with the flow' and just-having-fun-relationship. Mereka nyaman dengan hal itu. Sampai suatu hari si cewek terbangun dan sadar kalo dia gak bisa ngelanjutin hubungan kaya gitu. And that's it. She dumped him without feels guilty." Rudi menceritakan sinopsis film yang dia maksud. Bri mengangguk pelan, ia akhirnya mengingat film itu.

"Di, mungkin kita berada di tempat yang salah saat ini. Dan emang harus kita yang 'tau diri' dengan keberadaan kita sekarang. Sesayang apapun lo sama dia, siap gak siap lo harus terima kalo suatu saat bukan lo yang jadi pilihan dia." Bri mencoba membuka pikiran Rudi dan juga mencoba menegarkan dirinya sendiri.
"Gue gak bisa Bri!" tegas Rudi.
"Harusnya bisa! Karena dari awal dia bukan punya lo! Dan lo sadar penuh akan hal itu. Berhenti buat ngebohongin diri lo sendiri!" Bri ikut emosi, nada suaranya makin meninggi. Rudi tercekat. Dadanya terasa sesak, nafasnya berat. Kalimat Bri seakan menampar langsung wajah Rudi.

"How do you know she loves you?" tanya Bri.
"She ever said that to me" jawab Rudi.
"Did you ever promised something to her?" tanya Bri lagi.
"Hmm, yeah. She ever asks me to not leave. And I promised."
"But then she left you!" Bri mulai lagi. Rudi pasrah, tak mampu berkata-kata lagi.

"See? Ternyata lo masih naif kaya dulu. Lo anggep semua orang bakal terus berada pada ekspektasi lo. Sementara orang-orang disekitar lo terus berubah. Hatinya, jalan pikirannya. Mungkin hari ini lo bisa sayang banget sama dia, tapi besok bisa jadi lo benci banget sama dia. Lo ngerasain itu tapi lo gak mau ngaku. Lo terus berharap orang-orang tetap berjalan pada track nya. Lo gak bisa mikir kaya gitu terus. Mindset lo harus berubah, Di"

Bri menarik nafas panjang. Bri sadar sahabatnya butuh bantuan, bukan amarahnya. Rudi sudah cukup emosi, dia butuh Bri yang jauh lebih 'waras' dari dirinya saat ini. "Mungkin Tuhan punya rencana lain. Mungkin kalo dari dulu kalian udah bersama, mungkin aja saat ini kalian gak sama-sama lagi. Atau bisa aja kalian gak se-happy saat ini." kata Bri bijak, suaranya mulai merendah. Rudi tiba-tiba tersenyum. "You know Bri, that's it exactly what she ever said to me." kali ini Rudi tersenyum cukup lama. Bri ikut tersenyum.

"Perhaps, it's just the wrong timing that we have. Time goes too slow to make you and her, me and him meet in time. We met at the wrong time and it's us who hurt." ucap Bri sambil berusaha meyakinkan lagi. Rudi benar-benar diam.

"Lo udah berjuang cukup keras buat hubungan ini. Mengikhlaskan bukan berarti menyerah, Di." ucap Bri lagi. Kepala Rudi terasa tambah berat. Ia berusaha mencerna semua kalimat-kalimat Bri diotaknya. Dadanya tambah sesak. Ia hanya belum bisa menerima semua hal secara bersamaan. Semua terlalu cepat bagi Rudi. Bahkan cerita dia dan Gadis harus berakhir sebelum pernah dimulai.



Photo (500) Days of Summer credit to owner

Comments